Selasa, 19 Mei 2020

Dilema Mudik di Tengah Pandemi Covid-19

Antrean panjang kendaraan pemudik di Tol Cipali, Jawa Barat (Ilustrasi: bisnis.com)
Mudik merupakan suatu fenomena yang  kerap menarik perhatian. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mudik berarti pulang ke kampung halaman. Di beberapa negara berkembang seperti Indonesia mudik sudah menjadi tradisi. Jika di Indonesia, mudik identik dengan lebaran, baik Iedul Fitri maupun Iedul Adha. Pergerakan massal masyarakat saat masa mudik inilah yang menjadi  keunikan tersendiri. Mereka pulang kampung untuk bertemu dengan sanak saudara atau keluarga pada momentum Lebaran Iedul Fitri. 

Di Indonesia sendiri setiap masa mudik, jutaan rakyat dan dan kendaraan hilir mudik menuju kampung halaman. Antrean panjang kendaraan pemudik selama berjam-jam hingga puluhan kilometer pun menjadi ciri khas mudik di Indonesia. Maka, tak heran banyak orang mengatakan tak afdal jika mudik tak macet. Justru bagi sebagian orang berada dalam kemacetan saat mudik memiliki rasa dan kesan tersendiri yang tidak bisa didapatkan pada momentum lainnya. Saat terjebak kemacetan itulah mereka dapat bersilaturahim dengan pemudik lainnya di jalanan

Namun, kini di tengah pandemi virus Corona (Covid-19) , mudik menjadi dilema dan ditakuti banyak orang. Ya, kegiatan mudik ditakutkan dikhawatirkan dapat memperparah dan meningkatkan tingkat penyebaran virus ini. Mereka yang (nekat) mudik berpotensi menjadi orang tanpa gejala (OTG) dan menjadi orang dalam pemantauan (ODP) virus ini. Pemerintah pun mengeluarkan kebijakan larang mudik bagi masyarakat selama pandemi Covid-19 ini. Kebijakan tersebut dikeluarkan untuk memutus rantai penyebaran virus ini.

Hal tersebut bukan tanpa alasan. Dari sisi kesehatan, saat mereka melakukan perjalanan mudik khususnya, virus berpotensi menyebar. Misalnya jika mereka menggunakan kendaraan umum dan di dalamnya banyak pemudik lainnya dari berbagai daerah. Tak menutup kemungkinan juga, mereka berasal dari zona merah virus Corona sehingga dapat menularkan virus tersebut ke pemudik lainnya.

Sebenarnya tak sepenuhnya salah,  jika ada masyarakat yang masih mudik saat pandemi seperti sekarang. Mereka pastinya memiliki alasan tersendiri mengapa masih mudik di tengah wabah ini. Ada dari mereka beralasan masih nekat mudik karena  sudah tidak mempunyai pekerjaan dan penghasilan lagi di kota karena mewabahnya virus Corona ini. Alih-alih sudah tidak berpenghasilan lagi, mereka juga sebenarnya berpotensi menularkan virus tersebut saat pulang ke kampung halaman. 

Ada psikologis juga dibalik alasan mereka tetap nekat untuk mudik. Di satu sisi mereka khawatir kehidupan dan kesejahteraannya tidak terjamin selama mewabahnya virus ini. Karena pemerintah pun belum dapat menjamin juga kehidupan mereka terutama dalam hal ekonomi. Pasalnya pemerintah pun belum dapat memastikan secara rinci jumlah masyarakat terdampak  dari pandemi Covid-19 ini. Hal ini menjadi dilema juga bagi masyarakat. Tetapi di sisi lain mereka berpotensi menularkan virus ini jika tetap nekat 

Seperti yang dikatakan, Psikolog Klinis, Samanta Ananta yang dikutip dari kabar24.bisnis.com edisi 6 April 2020, masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga jarak selama pandemi ini menjadi salah penyebab masyarakat masih nekat mudik. Padahal menurutnya, dengan menjaga jarak tersebut dapat membantu pemulihan dari pandemi Covid-19 ini.

“Pertama pasti karena mereka belum memiliki kesadaran akan pentingnya menjaga jarak. Bahwa dengan Covid-19 ini perlu ada kesadaran tinggi dari kita untuk menjaga kesehatan dan menjaga jarak kita karena hal tersebut turut serta dalam proses pemulihan social distancing,” kata Samanta. 

Ia pun berpandangan tak jarang masyaraka yang nekat mudik memiliki kecenderungan untuk hidup hemat karena biaya di Jakarta mahal. Namun, menurutnya hal tersebut belum dapat dipastikan juga. Tetapi setidaknya jika mereka pulang kampung secara ekonomi harganya lebih murah walaupun dapat lebih parah jika masa isolasi perpanjang.

“Padahal saat di kampung halaman, kehidupan juga belum tentu lebih baik. Mungkin lebih nyaman dan murah, tapi bagaimana dengan kebutuhan jika kondisi isolasi diperpanjang? Akibatnya akan menimbulkan kekhawatiran tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan,” katanya.

Sementara jika kita lihat dari sudut pandang budaya, mudik ini sudah menjadi tradisi yang sulit bahkan mustahil dihilangkan. Bukan sekadar alasan ekonomi saja, tetapi lebih kepada budaya silaturahim. Sosiolog Universitas Nasional Jakarta, Erna Ermawati Chotim seperti disitat dari alinea.id fenomena mudik mengatakan, bukan sekadar masalah ekonomi, arus mudik sulit dibendung karena telah menjadi idiom budaya.  

Kegiatan mudik sudah melekat secara kultural dengan momentum silaturahim dan Lebaran. Mudik pun identik dengan pencapaian individu selama merantau ke kota. Bahkan, telah dilekatkan dengan konsep tunjangan hari raya (THR). Pelarangan mudik akibat pandemi Covid-19 pasti memberatkan para perantau. Mudik juga menjadi solusi masyarakat dalam menyelesaikan masalah. 

“Itu sudah kompleks karena sudah menjadi bagian dari kultur masyarakat kita. Ketika ada masalah apapun, solusinya ke wilayah asal. Termasuk, ketika ada masalah pandemi Covid-19 ini,” jelas Erna.

Dari pemaparan beberapa penjelasan di atas sebenarnya kita pun tidak dapat sepenuhnya menyalahkan masyarakat yang nekat mudik maupun pemerintah. Pasalnya saat ini kita berada dalam dilema di tengah pandemi Covid-19. Situasi bencana non-alam yang tidak dapat diprediksi. Segala tindakan bisa dipandang benar, bisa juga tidak.Terutama dalam hal ini mudik yang telah menjadi tradisi tahunan pada momen Lebaran Iedul Fitri yang sulit bahkan mustahil dihilangkan karena sudah melekat dan menjadi budaya di masyarakat.

 
Referensi: