Antrean panjang kendaraan pemudik di Tol Cipali, Jawa Barat (Ilustrasi: bisnis.com) |
Mudik merupakan suatu
fenomena yang kerap menarik perhatian. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia mudik berarti pulang ke kampung halaman. Di
beberapa negara berkembang seperti Indonesia mudik sudah menjadi tradisi. Jika
di Indonesia, mudik identik dengan lebaran, baik Iedul Fitri maupun Iedul Adha.
Pergerakan massal masyarakat saat masa mudik inilah yang menjadi keunikan tersendiri. Mereka pulang kampung
untuk bertemu dengan sanak saudara atau keluarga pada momentum Lebaran Iedul
Fitri.
Di Indonesia sendiri
setiap masa mudik, jutaan rakyat dan dan kendaraan hilir mudik menuju kampung
halaman. Antrean panjang kendaraan pemudik selama berjam-jam hingga puluhan
kilometer pun menjadi ciri khas mudik di Indonesia. Maka, tak heran banyak
orang mengatakan tak afdal jika mudik tak macet. Justru bagi sebagian orang
berada dalam kemacetan saat mudik memiliki rasa dan kesan tersendiri yang tidak
bisa didapatkan pada momentum lainnya. Saat terjebak kemacetan itulah mereka
dapat bersilaturahim dengan pemudik lainnya di jalanan
Namun, kini di tengah pandemi
virus Corona (Covid-19) , mudik menjadi dilema dan ditakuti banyak orang. Ya,
kegiatan mudik ditakutkan dikhawatirkan dapat memperparah dan meningkatkan
tingkat penyebaran virus ini. Mereka yang (nekat) mudik berpotensi menjadi
orang tanpa gejala (OTG) dan menjadi orang dalam pemantauan (ODP) virus ini. Pemerintah
pun mengeluarkan kebijakan larang mudik bagi masyarakat selama pandemi Covid-19
ini. Kebijakan tersebut dikeluarkan untuk memutus rantai penyebaran virus ini.
Hal tersebut bukan tanpa
alasan. Dari sisi kesehatan, saat mereka melakukan perjalanan mudik khususnya, virus berpotensi
menyebar. Misalnya jika mereka menggunakan kendaraan umum dan di dalamnya
banyak pemudik lainnya dari berbagai daerah. Tak menutup kemungkinan juga,
mereka berasal dari zona merah virus Corona sehingga dapat menularkan virus
tersebut ke pemudik lainnya.
Sebenarnya tak sepenuhnya
salah, jika ada masyarakat yang masih
mudik saat pandemi seperti sekarang. Mereka pastinya memiliki alasan tersendiri
mengapa masih mudik di tengah wabah ini. Ada dari mereka beralasan masih nekat mudik
karena sudah tidak mempunyai pekerjaan
dan penghasilan lagi di kota karena mewabahnya virus Corona ini. Alih-alih
sudah tidak berpenghasilan lagi, mereka juga sebenarnya berpotensi menularkan
virus tersebut saat pulang ke kampung halaman.
Ada psikologis juga
dibalik alasan mereka tetap nekat untuk mudik. Di satu sisi mereka khawatir
kehidupan dan kesejahteraannya tidak terjamin selama mewabahnya virus ini. Karena
pemerintah pun belum dapat menjamin juga kehidupan mereka terutama dalam hal ekonomi.
Pasalnya pemerintah pun belum dapat memastikan secara rinci jumlah masyarakat
terdampak dari pandemi Covid-19 ini. Hal
ini menjadi dilema juga bagi masyarakat. Tetapi di sisi lain mereka berpotensi
menularkan virus ini jika tetap nekat
Seperti yang dikatakan,
Psikolog Klinis, Samanta Ananta yang dikutip dari kabar24.bisnis.com edisi
6 April 2020, masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga jarak selama pandemi
ini menjadi salah penyebab masyarakat masih nekat mudik. Padahal menurutnya,
dengan menjaga jarak tersebut dapat membantu pemulihan dari pandemi Covid-19
ini.
“Pertama pasti karena
mereka belum memiliki kesadaran akan pentingnya menjaga jarak. Bahwa dengan
Covid-19 ini perlu ada kesadaran tinggi dari kita untuk menjaga kesehatan dan
menjaga jarak kita karena hal tersebut turut serta dalam proses pemulihan
social distancing,” kata Samanta.
Ia pun berpandangan tak
jarang masyaraka yang nekat mudik memiliki kecenderungan untuk hidup hemat
karena biaya di Jakarta mahal. Namun, menurutnya hal tersebut belum dapat
dipastikan juga. Tetapi setidaknya jika mereka pulang kampung secara ekonomi
harganya lebih murah walaupun dapat lebih parah jika masa isolasi perpanjang.
“Padahal saat di kampung
halaman, kehidupan juga belum tentu lebih baik. Mungkin lebih nyaman dan murah,
tapi bagaimana dengan kebutuhan jika kondisi isolasi diperpanjang? Akibatnya
akan menimbulkan kekhawatiran tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
pangan,” katanya.
Sementara jika kita lihat
dari sudut pandang budaya, mudik ini sudah menjadi tradisi yang sulit bahkan
mustahil dihilangkan. Bukan sekadar alasan ekonomi saja, tetapi lebih kepada
budaya silaturahim. Sosiolog Universitas Nasional Jakarta, Erna Ermawati Chotim
seperti disitat dari alinea.id fenomena mudik mengatakan, bukan sekadar
masalah ekonomi, arus mudik sulit dibendung karena telah menjadi idiom
budaya.
Kegiatan mudik sudah melekat secara kultural
dengan momentum silaturahim dan Lebaran. Mudik pun identik dengan pencapaian
individu selama merantau ke kota. Bahkan, telah dilekatkan dengan konsep
tunjangan hari raya (THR). Pelarangan mudik akibat pandemi Covid-19 pasti
memberatkan para perantau. Mudik juga menjadi solusi masyarakat dalam
menyelesaikan masalah.
“Itu sudah kompleks karena sudah menjadi bagian
dari kultur masyarakat kita. Ketika ada masalah apapun, solusinya ke wilayah
asal. Termasuk, ketika ada masalah pandemi Covid-19 ini,” jelas Erna.
Dari pemaparan beberapa penjelasan di atas sebenarnya kita pun tidak dapat sepenuhnya menyalahkan masyarakat yang nekat mudik maupun pemerintah. Pasalnya saat ini kita berada dalam dilema di tengah pandemi Covid-19. Situasi bencana non-alam yang tidak dapat diprediksi. Segala tindakan bisa dipandang benar, bisa juga tidak.Terutama dalam hal ini mudik yang telah menjadi tradisi tahunan pada momen Lebaran Iedul Fitri yang sulit bahkan mustahil dihilangkan karena sudah melekat dan menjadi budaya di masyarakat.
Referensi: